Jumat, 13 April 2012

Kenaikan kelas
Kenaikan Kelas
a. Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun pembelajaran
b. Siswa dinyatakan TIDAK NAIK KELAS apabila yang bersangkutan tidak mencapai ketuntasan belajar minimal, lebih dari 3 (tiga) mata pelajaran
c. Penetuan jurusan dilakukan pada akhir semester 2 (dua) kelas X
d. Bagi siswa yang memilih program IPA, tidak boleh memiliki nilai yang tidak tuntas pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi
e. Bagi siswa yang memilih program IPS, tidak boleh memiliki nilai yang tidak tuntas pada mata pelajaran Sejarah, Geogrfai, Ekonomi, dan Sosiologi.
f. Siswa yang tidak tuntas pada mata pelajaran IPA, dan juga mata pelajaran IPS, bagi siswa tersebut perlu diperhatikan prestasi dari masing-masing mata pelajaran itu. Apabila nilai dari setiap mata pelajaran yang menjadi ciri khas program studi tertentu ada nilai yang lebih unggul, maka siswa tersebut dapat dijuruskan ke program studi yang bersangkutan.
g. batas waktu untuk pindah program studi paling lambat 1 9satu) bulan.
Hasil Karya
BAB I
PENDAHULUAN
    • Latar Belakang
 
Perkembangan globalisasi yang semakin pesat kerap kali sebagai biang masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik biang sebab dan biang akibat. Hal itu telah melumpuhkan negara kita khususnya tradisi atau kebudayaan pribumi. Perkembangan globalisasi dapat digambarkan dari perkembangan interior, desain, gaya yang membuat tradisi atau kebudayaan kita menjadi langka. Hal itu disebabkan kita yang sekarang ini berada dibawah kendali mereka.
Di dunia furniture ataupun interior mampu merubrik pasaran di Indonesia. Contohnya rumah ruko, advervilla, minimalis, aquarius, alexandria yang sangat diminati karena perpaduan seni mancanegara yang bahkan membutuhkan tenaga ahli yakni seorang arsitek yang ahli dari seni artistik meskipun meluangkan uang yang lebih besar yang berasal daria luar negeri.
Kabupaten Tapanuli Utara terkenal dengan tradisi batak seperti rumah adat batak yang menjulang tinggi. Rumah adat batak tercermin sebagai rumah yang berciri khas dan unik karena desain yang cukup sederhana dalam pembangunannya seperti atap yang terbuat dari ijuk, berdindingkan rotan dan menjulang tinggi dan tergantungnya sebuah kepala kerbau, dan warnya bangunan tersebut berwarna merah berupa darah, konon adanya.
Betapa agungnya rumah adat batak ini, tetapi pengaruh dari luar yang telah merasuki warga Tapanuli Utara terkhusus kota Tarutung sebagai ibu kota dari Kabupaten Tapanuli Utara sehingga rumah yang unik, sederhana, dan mengeluarkan biaya yang lebih minim dari berbagai jenis rumah mewah yang mahal mulai punah dan masyarakat tidak menilai bagaimana unsur estetika yang ada di dalamnya.
 
    • Rumusan Masalah
Menurut Hadari Nawawi (1985:15), suatu masalah muncul karena tidak terdapatnya keseimbangan antara yang diharapkan berdasarkan teori atau referensi lain yang menjadi tolak ukur dengan kenyataan sehingga menimbulkan pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya.
Berdasarkan pendapat di atas, rumusan masalah harus dinyatakan secara jelas dan tidak menumbulkan penafsiran ganda dan dijawab dengan pengamatan, yaitu memungkinkan untuk mengumpulkan data yang menjawab masalah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
  • Apa penyebab kurangnya pelestarian rumah adat batak di kabupaten Tapanuli Utara?
  • Bagaimana pengaruh dari era globalisasi terhadap kebudayaan pribumi?
  • Bagaimana cara melestarikan keluhuran rumah adat batak tersebut?
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
    • Tujuan Penelitian
 
Zaidan Hendy (1988:21) mengemukakan:
Penelitian bertujuan untuk menguraikan atau mendeskripsikan suatu gejala atau objek. Penelitian juga dapat bertujuan menerangkan suatu gejala atau menguji suatu hipotesis.
Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
  • Mengetahui penyebab kurangnya pelestarian rumah adat batak di Kabupaten tapanuli Utara.
  • Mengetahui pengaruh era globalisasi terhadap kebudayaan pribumi.
  • Mengetahui cara melestarikan keluhuran rumah adat batak tersebut.
 
 
 
    • Manfaat Penelitian
 
Sri Murtono (1982:12) mengatakan, manfaat penelitian dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sumbangan bagi pengembangan ilmu (aspek teoritis) dan manfaat bagi penerapannya di masyarakat (aspek praktis).
 
Berdasarkan pendapat di atas, maka manfaat penelitiannya adalah sebagai berikut:
 
  • Lestari dan asrinya kebudayaan pribumi Indonesia.
  • Menumbuhkan minat untuk melawan arus globalisasi serta menyikapi dan tidak hanya tenggelam dalam perkembangan itu sendiri.
  • Kota Tarutung semakin kental unsur kebatak-batakannya.
 
 
BAB II
KERANGKA TEORI / TINJAUAN PUSTAKA
 
  • Kerangka Teori
 
Kerangka teori adalah suatu kumpulan hasil pengetahuan yang diperoleh dari tulisan-tulisan dan dokumentasi yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Atau dengan kata lain suatu kerangka teori tidak lain daripada perpanjangan suatu kepustakaan.
 
 
  • Pengertian Kurangnya
 
Menurut Jos Daniel (1985:24) “Kurangnya adalah minimnya kerja sama yang dilakukan oleh pihak yang terkait dalam mengerjakan suatu proyek besar dengan segala aspek terperinci. Sehubungan dengan pendapat itu Adjat Sakri (1988:13) mengatakan:
Kurangnya kerap menghampiri suatu perhitungan matematis. Kurangnya diibaratkan sebagai tanda minus sebagai turunnya suatu perhitungan dan kemampuan yang tidak memungkinkan untuk dikembangkan lagi.
  • Pengertian Pelestarian
 
Menurut Sri Murtono (1989:34) “Pelestarian adalah menjaga keutuhan estetika atau intrinsik suatu benda atau karya. Sehubungan dengan pendapat itu Arsjad Maidar (1990:35) mengatakan :
Pelestarian adalah mematuhi kaidah-kaidah yang ditetetapkan oleh instansi atau lembaga pemerintahan yang menjunjung tinggi tentang keanekeragaman hayati sebagai konsep untuk melaksanakannya.
  • Pengertian Rumah Adat Batak
 
Menurut Ali Lukman (1991:12) “Rumah adat batak adalah rumah bolon.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1982:278) “Rumah adat batak adalah tempat penginapan untuk warga suku batak”
  • Deskripsi Rumah Adat Batak
Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah.

Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat

Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau porjabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kimpoi dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu. Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona.

Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sopo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Sopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.

Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk. Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja.

Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut rumah, dan rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo.
Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan.
 
 
  • Konsep tentang Globalisasi dan Pergeseran Budaya Indonesia
 
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai aspek sosial budaya yang beragam banyaknya.Secara spesifik keadaan sosial budaya indonesia sangat kompleks , mengingat penduduk indonesia berjumlah lebih dari 200 juta jiwa dalam 30 kesatuan suku bangsa.Indonesia memiliki 67 budaya induk yang tersebar dari barat sampai ke timur Nusantara.Selain itu ,Indonesia terdiri atas 6000pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 pulau. Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber daya alamdan sumber daya budaya yang melimpah.
Bangsa kita merupakan bangsa yang bermulti, baik itu multibahasa, multibudaya, maupun multiagama. Semua itu bisa dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa kita.
Kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakatt yang dijadikan identitas diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa dan karya manusia termasuk didalamnya benda-benda hasil kreativitas dan ciptaan manusia. Contohnya adalah : tari daerah, lagu daerah, rumah adat, dan kesenian daerah lainnya yang diperoleh dengan cara belajar. Akan tetapi, dalam perspektif antropologi yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan. Baik persfektif klasik maupun kontemporer sama-sama mengakui bahwa kebudayaan adalah identitas diri yang akan membedakan dengan bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu pelestarian secara turun-temurun sehingga cipta, karsa, dan karya manusia tersebut tidak hilang.
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya.
Perkembangan 3T(Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri. Budaya Indonesia yang dulunya ramah tamah, gotong royonbg, dan sopan santun berganti dengan budaya (meminjam istilah Band Zamrud) yang ‘gaul’, ‘fungky’ dan doyan ngucapin ‘ember’.
Sebagai besar generasi muda sekarang ini sudah tidak lagi memiliki keterkaitan tehadap kesenian dan kebudayaan daerah. Padahal sebenarnya seni dan kebudayaan itu indah dan mahal. Kesenian dan kebudayaan adalah aset Indonesia. Sebagai tunas muda hendaknya memelihara seni budaya kita untuk masa depan anak cucu. Padahal kebudayaan- kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan kau atau kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan, sebutan Bung cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu, kita sering mendengar anak muda menggunakan bahasa Indonesia dengan dicampur-campur bahasa Inggris, seperti OK, no problem dan yes, bahkan kata-kata makian(umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan, dan sinetron bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fashion.
Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti perkembangan zaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negeri yang ditransformasikan ke dalam sinetron-sinetron Indonesia. Derasnya arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta‘menyumbang’ bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah menjadi tren di lingkungan anak muda.
Boleh dikatakan bahwa budaya yang merupakan sistem simbol dan norma dalam masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini macet. Kemacetan budaya ini karena masyarakat kurang mengantisipasi dengan baik pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa sendiri. Lihat saja bagaimana takjubnya kita dengan kesenian asal negeri Barat. Kita seolah tidak menghargai kesenian tradisional dan kebudayaan kita misalnya rumah adat batak ini. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita kurang bisa mengantisipasi masuknya budaya asing.
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa globalisasi telah membawa dampak yang negatif dalam pelestarian budaya. Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and The Olive Tree (2000) menyatakan bahwa “ancaman globalisasi saat ini adalah globalisasi”. Artinya, sistem di dalam globalisasi itu sendiri menyimpan potensi penghancuran. Ritme cepat globalisasi yang ditentukan oleh negara-negara maju pada gilirannya telah menimbulkan dikotomi baru dalam hubungan antarnegara. Negara-negara yang tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan ke dalam kategori negara‘primitif’ atau ‘ketinggalan zaman’. Oleh sebab itu, setiap negara berlomba-lomba untuk mentransfer kemajuan ilmu dan teknologi dari negara-negara Barat.
Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya Barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan ‘baik’. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.
  • Perlindungan Budaya dan Pengetahuan Tradisional
Pemerintah telah membuat Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Perlindungan Budaya dan Pengetahuan Tradisional (Folkore and Traditional Knowledge). Tujuan pembuatan PP tersebut untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan terhadap warisan budaya yang bernilai tinggi itu. “Pembentukan PP tersebut merupakan amanat UU Hak Cipta yang menjadi dasar perlindungan terhadap ekspresi folkore dan pengetahuan tradisional itu.”
Sejak dimulainya perhatian dan diskusi Internasional yang berkaitan dengan perlindungan terhadap budaya dan pengetahuan tradisional, Indonesia menyadari sekali perlunya perlindungan yang memadai bagi ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi, baik dari segi ekonomi maupun segi historis. “Usaha pemerintah diawali dengan memasukkan pasal mengenai perlindungan ekspresi atau folkore dalam UU Hak Cipta dengan mencegah penyalahgunaan folklore oleh warga negara asing dan dengan menempatkan pemerintah sebagai pemilik folkore yang tidak diketahui penciptanya.”
Sangat disadari bahwa perlindungan terhadap folkore dan pengetahuan tradisional tidak semata-mata terkait dengan HAKI. Selain itu, permasalahan yang dihadapi tidak mudah. “Adanya interaksi yang erat dengan berbagai sistem terkait seperti perlindungan sumber daya genetika atau hukum adat dan bahkan HAM merupakan hal yang tidak dapat dihindari.”
Selain itu, kondisi geografis Indonesia dengan berbagai suku bangsa, dan , kebudayaan merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Begitu pula hubungan budaya antarsuku bangsa dan dengan budaya bangsa lain yang kompleks merupakan hal yang tidak boleh dilupakan.
Forum konsultasi yang dihadiri oleh pakar di bidang HAKI, folkore, dan pengetahuan tradisional tersebut diharapkan menjadi titik awal yang dapat mempercepat terbentuknya PP. PP yang terbentuk sangat diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional.
Satu hal yang juga perlu diatur dalam PP itu adalah pendataan terhadap budaya dan pengetahuan tradisional tersebut.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pantun mengenai karya ilmiah yang terkait:
 
  • Sambal bajak sambal terasi
Menghabiskan sebakul nasi
Zaman ini era globalisasi
Jangan sampai menggusur tradisi
 
 
  • Nenek mendongeng tentang kera
Kera berteman dengan angsa
Menjaga seni nusantara
Kekayaan budaya bangsa
 
 
 
 
 
 
 
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
 
3.1 Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian pada:
Tanggal : 18 s/d 20 April 2011
Pukul : 09 : 00 WIB – selesai
 
 
 
3.2 Tempat Penelitian
Penulis melakukan penelitian di : Desa Parserahan Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara Jl. Pahae Km. 3 Tarutung.
 
 
 
3.3 Populasi dan Sampel
  • Populasi
Menurut Sri Wulandari (1989:39), “Populasi adalah seluruh kelompok objek penelitian atau kelompok subjek dimana kesimpulan akan digeneralisasikan.”
Dalam karya ilmiah ini, populasi adalah semua warga yang berada di : Desa Parserahan Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara Jl. Pahae Km. 3 Tarutung.
 
 
 
  • Sampel
Menurut Jimmy Hendri (1992:56), “Sampel ialah bagian anggota populasi yang mewakili polpulasi.”
Dalam karya ilmiah ini penulis menarik sampel sebesar 33,3% dari warga Desa Parserahan.
Dan penarikan sampel melalui penarikan sampel berlapis (stratified sampling)
Menggunakan rumus sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
n
Ps = − X 100%
∑ tot
 
30
Ps = − X 100%
90
=33,3%
Keterangan:
 
P s = Jumlah sampel yang ditarik (dalam %)
n = Jumlah anggota yang ditarik
∑ tot = Jumlah keseluruhan warga
 
 
3.4 Metode Penelitian
Menurut Adrob Kunyakuk (1985:213), “Metode penelitian menguraikan bagaimana cara melakukan penelitian tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis mengambil sumber data melalui metode kuesioner atau angket dan melalui observasi)
BAB IV
PEMBAHASAN
Tabel I Hasil Penyebaran Angket
No
Soal tertera dalam angket
Presentase (%) hasil
1 Apakah anda mendiami rumah adat batak?
33%
2 Apakah rumah adat batak mampu menampung banyak anggota keluarga?
70%
3 Apakah rasa malu yang anda peroleh jika mendiami rumah adat batak tersebut?
50%
4 Apakah pengaruh zaman yang telah membuat kurangnya perhatian masyarakat etrhadap rumah adat batak?
100%
5 Apakah rumah adat batak tersebut merugikan bagi anda?
100%
6 Apakah rumah adat batak tersebut bisa digunakan dalam acara adat?
100%
7 Apakah anda setuju rumah adat batak dihancurkan?
100%
8 Apakah jika rumah adat yang memadati permukiman warga akan membuat daerah kabupaten tapanuli utara ketinggalan zaman?
10%
9 Setujukah anda apabila diadakan promosi guna menumbuhkan minat masyarakat dalam rumah adat batak?
83%
10 Apakah masih layak istilah batak di daerah ini apabila unsur kebatakan di rumah batak mulai punah
100%
 
 
 
Tabel II Hasil Lanjutan
No
Presentase yang didapat
Kriteria yang didapat
1
10-30%
Kurang berminat
2
40-60%
Berminat
3
70-100%
Sangat berminat
 
Berdasarkan kedua tabel tersebut, didapat bahwa
  • Banyak angka 100% didapat dari hasil penyebaran angket kepada warga yang artinya sangat berminat,
  • Persentase tentang banyaknya yang mendiami rumah batak berdasarkan penyebaran angket yang terdapat dalam tabel I bahwa mendapat angka 33% yang berarti kurang berminat.
  • Berdasarkan pengamatan (observasi) didapat angka 10-30% yang berarti kurang berminat yang berada di lampiran karya ilmiah ini dan secara sistematis didapat dari:
 
n
Qs = − X 100%
∑ warga
 
30
Qs = − X 100%
90
=33,3%
Keterangan:
 
Q s = Persentase rumah batak yang didiami warga
n = Jumlah warga yang mendiami rumah batak
∑ warga= Jumlah keseluruhan warga yang dijadikan sampel
BAB V
PENUTUP  
5.1 KESIMPULAN
Kurangnya Pelestarian Rumah Adat Batak di Desa Hutagalung Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara ialah benar adanya.
Kurangnya Pelestarian Rumah Adat Batak di Desa Hutagalung Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara dominannya disebabakan oleh era globalisasi yang berkembang atau melecit yang membius perhatian masyarakat dengan perkembangan interior maupun superior yang bervarian ditawarkan.
Unsur kebatak-batakan juga berkurang, dalam ari kekentalan atau kekhasan istilah “Tano Batak” juga berkurang.
5.2 SARAN
Demi keluhuran istilah “Tano Batak” yang telah tersebar luas di segala penjuru daerah perlu diadakannya promosi tentang betapa asrinya daerah Tapanuli Utara apabila dominannya bangunan yang berbau rumah adat batak.
Pemerintah perlu mengadakan suatu penyuluhan tersebut dengan tonggak seperti kokohnya Gedung Sopo Partungkoan Tarutung dan Gedung DPRD Kabupaten Tapanuli Utara sebagai contoh dari asrinya kebudayaan pribumi di Indonesia yang kental unsur kebatak-batakannya.
Kita sebagai generasi muda penerus bangsa dan seluruh warga negara Indonesia harus mengabadikan kebudayaan pribumi, dan ada satu cara yang ampuh untuk melestarikan kebudayaan pribumi yaitu dengan menyeleksi dan sikap kritis dalam menyikapi era globalisasi yang melanda, guna kebudayaan pribumi yang kaya dan bercita rasa tinggi tidak memudar bahkan punah serta unsur estetika kebudayaan pribumi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tukan, Paulus. 2007. Mahir Berbahasa Indonesia SMA Kelas XII. Jakarta: Yudhistira
Mardiah, Syahidah. 2006. Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Suyono, Adi. 2007. Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Alwi, Hasan, dkk.(ed). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Suyono, Adi. 2004. Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Murtono, Sri. 2002. Bahasa Indonesia SLTP Kelas 3. Surakarta: PT Pabelan
Pratiwi, dkk. Biologi SMA Kelas X. Jakarta: 2007
Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Media
Nursisto, Abdi. Penuntun Mengarang. Jakarta: Adicita
Effendi, Anwar. dkk. 1997. Penagajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka
Hendy, Zaidan. 2006. Indonesia Budaya Awal Kami. Jakarta: Gramedia

SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA SMA ST. MARIA TARUTUNG
SALAH SATU WUJUD KEHADIRAN KATOLIK DI TARUTUNG – Tapanuli Utara adalah berkembangnya karya di bidang pendidikan. Awalnya karya di mulai dengan mendirikan Taman Kanak-kanak St. Maria Tarutung pada tahun 1974 kemudian disusul dengan pendirian SD St. Maria pada tahun 1974 dan dirsmikan pada tahun 1976. Seiring dengan berjalanny awaktu, orang tua maupun umat di paroki Tarutung merasa perlu adanya SMP sebagai kelanjutan dari SD yang telah ada. Tetapi niat ini kurang disetujui oleh Bapak Uskup Agung Medan, mengingat umat Katolik di Tarutung merupakan kelompok minoritas. Namun dengan tekad yang kuat dan usaha Pastor paroki yakni P. Ambrosiw Sihombing OFM Cap bersdama umat saat itu, mereka “nekad” mendirikan SMP St. Maria Tarutung pada tahun 1985 dan memperoleh status diakui pada tahun 1987.
Melihat kenyataan bahwa SMP St. Maria dapat berkembang dan begitu diminati oleh masyarakat, amka timbul niat untuk mendirikan SMA St. Maria. Usul ini langsung disetujui oleh Bapak Uskup.
Restu dar bapak Uskup mendorong para pengurus yayasan Bina Marga yang saat itu sebagai ketua dijabat olehbapak M. Sitanggang, SH, semakin bersemangat untuk mulai bekerja. Dan hasil kerja keras mereka itu terwujud dalam peletakan batu pertama pada tanggal 12 Juli 1999 tepat pukul 10:00 WIB. Peletakan batu pertama ini dihadiri langsung oleh Bapak Uskup, Pastor Michael Hutabarat, Bapak Bupati, semua pengurus Bina Warga, Kepala SD dan SMP serta umat yang berada di sekitar Tarutung.
Dengan semangat yang berkobar akhirnya gedung SMA St. Maria selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 28 Januari 2001 oleh Bupati Tapanuli Utara Bapak R.E Nainggolan dan Uskup Agung Medan A. G Pius Datubara, OFM Cap.
Sebelum gedunng ini selesai SMA telah memberanikan diri untuk menerima siswa yang saat itu ditampung di asrama milik Paroki. Siswa yang pertama diterima berjumlah 135 orang dengan jumlah guru sebanyak 7 orang dan pegawai 2 orang. Kepala sekolah yang pertama adalah Sr. Rosa Sihotang, SCMM. Namun seiring perjalanan waktu, jumlah siswa SMA St. Maria pun semakin berkembang. Dimulai dengan siswa sebanyak 135 orang dengan 3 ruangan berkembang menjadi 12 ruangan dengan jumlah siswa 478 orangf (T.P 2005/2006).
Pada waktu yang sangat singkat yakni pada tahun 2000, terjadi perubahan nama Yayasan dari Bina Marga menjadi Yayasan St. Yoseph Medan. Perubahan ini terjadi karena ada penggabungan (merger) beberapa yayasan yang dikelola keuskupan. Tujuan penggabungan yayasan ini adalah:
  • Demi pengelolaan sekolah yang lebih terjamin dan terarah.
  • Lebih mudah menentukan kebijakan khusus pendidikan Katolik.
  • Memudahkan pengelolaan sekolah yang dulunya terdiri banyak yayasan, kemudian digabung menjadi 5 yayasan saja.
 
Kegiatan pembelajaran di SMA St. Maria bertujuan memberikan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan mental, kepribadian, kemampuan intelektual dan ketrampilan para siswa serta rasa tanggung jawab sosial yang nyata. Pembentukan pribadi seutuhnya, mengembangkan nurani yang diterangi oleh iman untuk melayani sesama berdasarkan kasih serta kompetensi ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya.
Sejarah
SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA SMA ST. MARIA TARUTUNG
SALAH SATU WUJUD KEHADIRAN KATOLIK DI TARUTUNG – Tapanuli Utara adalah berkembangnya karya di bidang pendidikan. Awalnya karya di mulai dengan mendirikan Taman Kanak-kanak St. Maria Tarutung pada tahun 1974 kemudian disusul dengan pendirian SD St. Maria pada tahun 1974 dan dirsmikan pada tahun 1976. Seiring dengan berjalanny awaktu, orang tua maupun umat di paroki Tarutung merasa perlu adanya SMP sebagai kelanjutan dari SD yang telah ada. Tetapi niat ini kurang disetujui oleh Bapak Uskup Agung Medan, mengingat umat Katolik di Tarutung merupakan kelompok minoritas. Namun dengan tekad yang kuat dan usaha Pastor paroki yakni P. Ambrosiw Sihombing OFM Cap bersdama umat saat itu, mereka “nekad” mendirikan SMP St. Maria Tarutung pada tahun 1985 dan memperoleh status diakui pada tahun 1987.
Melihat kenyataan bahwa SMP St. Maria dapat berkembang dan begitu diminati oleh masyarakat, amka timbul niat untuk mendirikan SMA St. Maria. Usul ini langsung disetujui oleh Bapak Uskup.
Restu dar bapak Uskup mendorong para pengurus yayasan Bina Marga yang saat itu sebagai ketua dijabat olehbapak M. Sitanggang, SH, semakin bersemangat untuk mulai bekerja. Dan hasil kerja keras mereka itu terwujud dalam peletakan batu pertama pada tanggal 12 Juli 1999 tepat pukul 10:00 WIB. Peletakan batu pertama ini dihadiri langsung oleh Bapak Uskup, Pastor Michael Hutabarat, Bapak Bupati, semua pengurus Bina Warga, Kepala SD dan SMP serta umat yang berada di sekitar Tarutung.
Dengan semangat yang berkobar akhirnya gedung SMA St. Maria selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 28 Januari 2001 oleh Bupati Tapanuli Utara Bapak R.E Nainggolan dan Uskup Agung Medan A. G Pius Datubara, OFM Cap.
Sebelum gedunng ini selesai SMA telah memberanikan diri untuk menerima siswa yang saat itu ditampung di asrama milik Paroki. Siswa yang pertama diterima berjumlah 135 orang dengan jumlah guru sebanyak 7 orang dan pegawai 2 orang. Kepala sekolah yang pertama adalah Sr. Rosa Sihotang, SCMM. Namun seiring perjalanan waktu, jumlah siswa SMA St. Maria pun semakin berkembang. Dimulai dengan siswa sebanyak 135 orang dengan 3 ruangan berkembang menjadi 12 ruangan dengan jumlah siswa 478 orangf (T.P 2005/2006).
Pada waktu yang sangat singkat yakni pada tahun 2000, terjadi perubahan nama Yayasan dari Bina Marga menjadi Yayasan St. Yoseph Medan. Perubahan ini terjadi karena ada penggabungan (merger) beberapa yayasan yang dikelola keuskupan. Tujuan penggabungan yayasan ini adalah:
  • Demi pengelolaan sekolah yang lebih terjamin dan terarah.
  • Lebih mudah menentukan kebijakan khusus pendidikan Katolik.
  • Memudahkan pengelolaan sekolah yang dulunya terdiri banyak yayasan, kemudian digabung menjadi 5 yayasan saja.
 
Kegiatan pembelajaran di SMA St. Maria bertujuan memberikan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan mental, kepribadian, kemampuan intelektual dan ketrampilan para siswa serta rasa tanggung jawab sosial yang nyata. Pembentukan pribadi seutuhnya, mengembangkan nurani yang diterangi oleh iman untuk melayani sesama berdasarkan kasih serta kompetensi ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya.
Sang Motivator
William Fetter
William Fetter adalah seorang desainer grafis perusahaan penerbangan Boeing yang pada tahun 1960 dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah "grafika komputer" untuk mendeskripsikan apa yang dilakukannya di perusahaan Boeing tersebut. Fetter sendiri mengatakan bahwa istilah itu didapatnya dari Verne Hudson, seorang pegawai Divisi Wichita di perusahaan Boeing itu.
Dalam sebuah wawancara pada tahun 1978, Fetter menyatakan bahwa ada kebutuhan yang mendesak akan adanya "aplikasi grafika komputer" untuk simulasi tubuh manusia secara akurat dan adaptif bagi lingkungan kerja penggunanya.
Salah satu gambar yang selalu disebut dan merupakan ikon pada sejarah awal perkembangan grafika komputer adalah sebuah gambar tubuh amnusia yang sering disebut sebagai "manusia Boeing" (Boeing Man) yang menggambarkan beberapa posisi pilot di atas kokpit pesawat. Namun, Fetter sendiri menyebutnya sebagai "manusia pertama" (First Man).
Tata Tertib Umum
Tata tertib Umum
1. Pakaian dan cara berpakaian yang juga meliputi cara memelihara diri harus sederhana, rapi dan bersih.
Hari Senin, Jum'at, sabtu mengenakan pakaian abu-abu(nasional)
Hari Selasa - Rabu mengenakan pakaian Biru/Rompi
Hari kamis mengenakan pakaian olahraga.
2. Siswa tidak diperkenankan memakai perhiasan berharga dan sejenisnya
3. Siswa dilarang melakukan perbuatan asusila baik di kompleks sekolah atau di luar sekolah. bagi yang melanggar akan dikembalikan kepada orang tua(Drop Out)
4. Sopan dan Santun
5. para siswa diwajibkan menjaga dan melaksanakan 6K

Visi dan Misi

Visi dan Misi
VISI SMA SANTA MARIA TARUTUNG
Menghasilkan generasi muda yang mampu berkompetensi meraih prestasi secara utuh dan seimbang yang berpegang pada persaudaraan dan Cintakasih berdasarkan nilai-nilai iman Katolik.
MISI SMA SANTA MARIA TARUTUNG
  • Mempersiapkan peserta didik yang mampu menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai persiapan menghadapi persaingan global.
  • Membina dan mendampingi peserta didik dalam menumbuhkembangkan sikap-sikap kemanusiaan yang mengembangkan hati nurani, solidaritas, dan humanisme.
  • Membina dan mendampingi peserta didik menumbuhkembangkan sikap-sikap religius yang mengembangkan iman, toleransi dan cinta kepada sesama.
  • Menumbuhkembangkan sikap kritis,kreatif,inovatif dan demokratis.
  • Melatih dan mendampingi peserta didik memperoleh keterampilan kegiatan ekstrakurikuler yang mengembangkan segi emosional.