Hasil Karya
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan globalisasi yang semakin pesat kerap kali
sebagai biang masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik biang sebab dan
biang akibat. Hal itu telah melumpuhkan negara kita khususnya tradisi
atau kebudayaan pribumi. Perkembangan globalisasi dapat digambarkan dari
perkembangan interior, desain, gaya yang membuat tradisi atau
kebudayaan kita menjadi langka. Hal itu disebabkan kita yang sekarang
ini berada dibawah kendali mereka.
Di dunia furniture ataupun interior mampu merubrik pasaran
di Indonesia. Contohnya rumah ruko, advervilla, minimalis, aquarius,
alexandria yang sangat diminati karena perpaduan seni mancanegara yang
bahkan membutuhkan tenaga ahli yakni seorang arsitek yang ahli dari seni
artistik meskipun meluangkan uang yang lebih besar yang berasal daria
luar negeri.
Kabupaten Tapanuli Utara terkenal dengan tradisi batak
seperti rumah adat batak yang menjulang tinggi. Rumah adat batak
tercermin sebagai rumah yang berciri khas dan unik karena desain yang
cukup sederhana dalam pembangunannya seperti atap yang terbuat dari
ijuk, berdindingkan rotan dan menjulang tinggi dan tergantungnya sebuah
kepala kerbau, dan warnya bangunan tersebut berwarna merah berupa darah,
konon adanya.
Betapa agungnya rumah adat batak ini, tetapi pengaruh dari
luar yang telah merasuki warga Tapanuli Utara terkhusus kota Tarutung
sebagai ibu kota dari Kabupaten Tapanuli Utara sehingga rumah yang unik,
sederhana, dan mengeluarkan biaya yang lebih minim dari berbagai jenis
rumah mewah yang mahal mulai punah dan masyarakat tidak menilai
bagaimana unsur estetika yang ada di dalamnya.
Menurut Hadari Nawawi (1985:15), suatu masalah muncul karena
tidak terdapatnya keseimbangan antara yang diharapkan berdasarkan teori
atau referensi lain yang menjadi tolak ukur dengan kenyataan sehingga
menimbulkan pertanyaan mengapa demikian atau apa sebabnya.
Berdasarkan pendapat di atas, rumusan masalah harus
dinyatakan secara jelas dan tidak menumbulkan penafsiran ganda dan
dijawab dengan pengamatan, yaitu memungkinkan untuk mengumpulkan data
yang menjawab masalah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka rumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
- Apa penyebab kurangnya pelestarian rumah adat batak di kabupaten Tapanuli Utara?
- Bagaimana pengaruh dari era globalisasi terhadap kebudayaan pribumi?
- Bagaimana cara melestarikan keluhuran rumah adat batak tersebut?
Zaidan Hendy (1988:21) mengemukakan:
Penelitian bertujuan untuk menguraikan atau mendeskripsikan
suatu gejala atau objek. Penelitian juga dapat bertujuan menerangkan
suatu gejala atau menguji suatu hipotesis.
Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
- Mengetahui penyebab kurangnya pelestarian rumah adat batak di Kabupaten tapanuli Utara.
- Mengetahui pengaruh era globalisasi terhadap kebudayaan pribumi.
- Mengetahui cara melestarikan keluhuran rumah adat batak tersebut.
Sri Murtono (1982:12) mengatakan, manfaat penelitian dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu sumbangan bagi pengembangan ilmu (aspek
teoritis) dan manfaat bagi penerapannya di masyarakat (aspek praktis).
Berdasarkan pendapat di atas, maka manfaat penelitiannya adalah sebagai berikut:
- Lestari dan asrinya kebudayaan pribumi Indonesia.
- Menumbuhkan minat untuk melawan arus globalisasi serta menyikapi dan tidak hanya tenggelam dalam perkembangan itu sendiri.
- Kota Tarutung semakin kental unsur kebatak-batakannya.
BAB II
KERANGKA TEORI / TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka teori adalah suatu kumpulan hasil pengetahuan yang
diperoleh dari tulisan-tulisan dan dokumentasi yang ada kaitannya dengan
penelitian yang dilakukan. Atau dengan kata lain suatu kerangka teori
tidak lain daripada perpanjangan suatu kepustakaan.
Menurut Jos Daniel (1985:24) “Kurangnya adalah minimnya
kerja sama yang dilakukan oleh pihak yang terkait dalam mengerjakan
suatu proyek besar dengan segala aspek terperinci. Sehubungan dengan
pendapat itu Adjat Sakri (1988:13) mengatakan:
Kurangnya kerap menghampiri suatu perhitungan matematis.
Kurangnya diibaratkan sebagai tanda minus sebagai turunnya suatu
perhitungan dan kemampuan yang tidak memungkinkan untuk dikembangkan
lagi.
Menurut Sri Murtono (1989:34) “Pelestarian adalah menjaga
keutuhan estetika atau intrinsik suatu benda atau karya. Sehubungan
dengan pendapat itu Arsjad Maidar (1990:35) mengatakan :
Pelestarian adalah mematuhi kaidah-kaidah yang ditetetapkan
oleh instansi atau lembaga pemerintahan yang menjunjung tinggi tentang
keanekeragaman hayati sebagai konsep untuk melaksanakannya.
- Pengertian Rumah Adat Batak
Menurut Ali Lukman (1991:12) “Rumah adat batak adalah rumah bolon.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1982:278) “Rumah adat batak adalah tempat penginapan untuk warga suku batak”
- Deskripsi Rumah Adat Batak
Rumah Adat Batak Toba disebut
Rumah Bolon,
berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6
keluarga. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di
tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang
hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak
terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus
menghormati si pemilik rumah.
Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian
bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu
pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang
horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak
dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa
kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi
bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini
pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat
Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang
ditempati oleh kepala rumah atau porjabu bong, dengan isteri dan
anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat.
Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding
diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum
mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk
anak laki-laki tertua yang sudah kimpoi dan di seberangnya disebut
Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu. Bila keluarga besar maka diadakan
tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan
bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona.
Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah,
berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di
tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan
rumah adalah sopo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat
menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Sopo
berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan
bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang
asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat
hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan
berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan
sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan.
Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan
lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi
yang terletak di dinding atas pintu masuk. Pada sudut-sudut rumah
terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud
sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala
singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari
luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula
yang berupa gambaran saja.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam
rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut rumah, dan
rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo.
Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang
yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari
papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah
bentuk atapnya yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan.
- Konsep tentang Globalisasi dan Pergeseran Budaya Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai aspek sosial
budaya yang beragam banyaknya.Secara spesifik keadaan sosial budaya
indonesia sangat kompleks , mengingat penduduk indonesia berjumlah lebih
dari 200 juta jiwa dalam 30 kesatuan suku bangsa.Indonesia memiliki 67
budaya induk yang tersebar dari barat sampai ke timur Nusantara.Selain
itu ,Indonesia terdiri atas 6000pulau yang terhuni dari jumlah
keseluruhan sekitar 13.667 pulau. Dari pernyataan di atas dapat
diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dengan sumber
daya alamdan sumber daya budaya yang melimpah.
Bangsa kita merupakan bangsa yang bermulti, baik itu
multibahasa, multibudaya, maupun multiagama. Semua itu bisa dikelola
dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan
memajukan bangsa kita.
Kebudayaan dalam perspektif klasik pernah didefinisikan oleh
Koentjaraningrat sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakatt yang dijadikan
identitas diri manusia yang diperoleh dengan cara belajar. Dalam
pengertian tersebut, kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan
keseluruhan hasil cipta, karsa dan karya manusia termasuk didalamnya
benda-benda hasil kreativitas dan ciptaan manusia. Contohnya adalah :
tari daerah, lagu daerah, rumah adat, dan kesenian daerah lainnya yang
diperoleh dengan cara belajar. Akan tetapi, dalam perspektif antropologi
yang lebih kontemporer, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem
simbol dan makna dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya
terdapat norma-norma dan nilai-nilai tentang hubungan sosial dan
perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat bersangkutan. Baik
persfektif klasik maupun kontemporer sama-sama mengakui bahwa kebudayaan
adalah identitas diri yang akan membedakan dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh sebab itu, perlu adanya suatu pelestarian secara turun-temurun
sehingga cipta, karsa, dan karya manusia tersebut tidak hilang.
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh
terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi
dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang
mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya.
Perkembangan 3T(Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi)
mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri
sendiri. Budaya Indonesia yang dulunya ramah tamah, gotong royonbg, dan
sopan santun berganti dengan budaya (meminjam istilah Band Zamrud) yang
‘gaul’, ‘fungky’ dan doyan ngucapin ‘ember’.
Sebagai besar generasi muda sekarang ini sudah tidak lagi
memiliki keterkaitan tehadap kesenian dan kebudayaan daerah. Padahal
sebenarnya seni dan kebudayaan itu indah dan mahal. Kesenian dan
kebudayaan adalah aset Indonesia. Sebagai tunas muda hendaknya
memelihara seni budaya kita untuk masa depan anak cucu. Padahal
kebudayaan- kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain
dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk
pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan
yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah dalam
pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar (bahasa juga salah satu
budaya bangsa). Sudah lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua
tunggal dengan
Bapak, Ibu, Pak, Bu, Saudara, Anda dibandingkan dengan
kau atau
kamu sebagai pertimbangan nilai rasa. Bahkan, sebutan
Bung
cukup populer saat Presiden Soekarno menggelorakan semangat nasional
ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia. Sekarang ada kecenderungan di
kalangan anak muda yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dialek
Jakarta seperti penyebutan kata
gue (saya) dan
lu
(kamu). Selain itu, kita sering mendengar anak muda menggunakan bahasa
Indonesia dengan dicampur-campur bahasa Inggris, seperti
OK, no problem dan yes,
bahkan kata-kata makian(umpatan) sekalipun yang sering kita dengar di
film-film barat, sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata
ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan, dan sinetron
bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan
fashion.
Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung
tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti perkembangan zaman. Ada
kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar memakai pakaian minim
dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya perpakaian
minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negeri yang
ditransformasikan ke dalam sinetron-sinetron Indonesia. Derasnya arus
informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut
serta‘menyumbang’ bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat
telah menjadi tren di lingkungan anak muda.
Boleh dikatakan bahwa budaya yang merupakan sistem simbol
dan norma dalam masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini macet.
Kemacetan budaya ini karena masyarakat kurang mengantisipasi dengan baik
pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa sendiri. Lihat saja
bagaimana takjubnya kita dengan kesenian asal negeri Barat. Kita seolah
tidak menghargai kesenian tradisional dan kebudayaan kita misalnya rumah
adat batak ini. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita kurang bisa
mengantisipasi masuknya budaya asing.
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa globalisasi telah
membawa dampak yang negatif dalam pelestarian budaya. Thomas Friedman
dalam bukunya The Lexus and The Olive Tree (2000) menyatakan bahwa
“ancaman globalisasi saat ini adalah globalisasi”. Artinya, sistem di
dalam globalisasi itu sendiri menyimpan potensi penghancuran. Ritme
cepat globalisasi yang ditentukan oleh negara-negara maju pada
gilirannya telah menimbulkan dikotomi baru dalam hubungan antarnegara.
Negara-negara yang tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan ke dalam
kategori negara‘primitif’ atau ‘ketinggalan zaman’. Oleh sebab itu,
setiap negara berlomba-lomba untuk mentransfer kemajuan ilmu dan
teknologi dari negara-negara Barat.
Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah
meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat
merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya Barat (dalam kemasan
ilmu dan teknologi) diterima dengan ‘baik’. Pada sisi inilah globalisasi
telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk
Indonesia) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan
nilai-nilai ketimuran.
- Perlindungan Budaya dan Pengetahuan Tradisional
Pemerintah telah membuat Peraturan Pemerintah (PP) mengenai
Perlindungan Budaya dan Pengetahuan Tradisional (Folkore and Traditional
Knowledge). Tujuan pembuatan PP tersebut untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan terhadap warisan budaya yang bernilai tinggi itu.
“Pembentukan PP tersebut merupakan amanat UU Hak Cipta yang menjadi
dasar perlindungan terhadap ekspresi folkore dan pengetahuan tradisional
itu.”
Sejak dimulainya perhatian dan diskusi Internasional yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap budaya dan pengetahuan
tradisional, Indonesia menyadari sekali perlunya perlindungan yang
memadai bagi ekspresi budaya dan pengetahuan tradisional sebagai warisan
budaya yang bernilai tinggi, baik dari segi ekonomi maupun segi
historis. “Usaha pemerintah diawali dengan memasukkan pasal mengenai
perlindungan ekspresi atau folkore dalam UU Hak Cipta dengan mencegah
penyalahgunaan folklore oleh warga negara asing dan dengan menempatkan
pemerintah sebagai pemilik folkore yang tidak diketahui penciptanya.”
Sangat disadari bahwa perlindungan terhadap folkore dan
pengetahuan tradisional tidak semata-mata terkait dengan HAKI. Selain
itu, permasalahan yang dihadapi tidak mudah. “Adanya interaksi yang erat
dengan berbagai sistem terkait seperti perlindungan sumber daya
genetika atau hukum adat dan bahkan HAM merupakan hal yang tidak dapat
dihindari.”
Selain itu, kondisi geografis Indonesia dengan berbagai suku
bangsa, dan , kebudayaan merupakan hal yang harus dipertimbangkan.
Begitu pula hubungan budaya antarsuku bangsa dan dengan budaya bangsa
lain yang kompleks merupakan hal yang tidak boleh dilupakan.
Forum konsultasi yang dihadiri oleh pakar di bidang HAKI,
folkore, dan pengetahuan tradisional tersebut diharapkan menjadi titik
awal yang dapat mempercepat terbentuknya PP. PP yang terbentuk sangat
diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan kepentingan
nasional.
Satu hal yang juga perlu diatur dalam PP itu adalah pendataan terhadap budaya dan pengetahuan tradisional tersebut.
Pantun mengenai karya ilmiah yang terkait:
- Sambal bajak sambal terasi
Menghabiskan sebakul nasi
Zaman ini era globalisasi
Jangan sampai menggusur tradisi
- Nenek mendongeng tentang kera
Kera berteman dengan angsa
Menjaga seni nusantara
Kekayaan budaya bangsa
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian pada:
Tanggal : 18 s/d 20 April 2011
Pukul : 09 : 00 WIB – selesai
3.2 Tempat Penelitian
Penulis melakukan penelitian di : Desa Parserahan Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara Jl. Pahae Km. 3 Tarutung.
3.3 Populasi dan Sampel
Menurut Sri Wulandari (1989:39), “Populasi adalah seluruh
kelompok objek penelitian atau kelompok subjek dimana kesimpulan akan
digeneralisasikan.”
Dalam karya ilmiah ini, populasi adalah semua warga yang
berada di : Desa Parserahan Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli
Utara Jl. Pahae Km. 3 Tarutung.
Menurut Jimmy Hendri (1992:56), “Sampel ialah bagian anggota populasi yang mewakili polpulasi.”
Dalam karya ilmiah ini penulis menarik sampel sebesar 33,3% dari warga Desa Parserahan.
Dan penarikan sampel melalui penarikan sampel berlapis (stratified sampling)
Menggunakan rumus sebagai berikut:
n
P
s = − X 100%
∑ tot
30
P
s = − X 100%
90
=33,3%
Keterangan:
P s = Jumlah sampel yang ditarik (dalam %)
n = Jumlah anggota yang ditarik
∑ tot = Jumlah keseluruhan warga
3.4 Metode Penelitian
Menurut Adrob Kunyakuk (1985:213), “Metode penelitian menguraikan bagaimana cara melakukan penelitian tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis mengambil sumber data melalui metode kuesioner atau angket dan melalui observasi)
BAB IV
PEMBAHASAN
Tabel I Hasil Penyebaran Angket
No
|
Soal tertera dalam angket
|
Presentase (%) hasil
|
| 1 |
Apakah anda mendiami rumah adat batak? |
33%
|
| 2 |
Apakah rumah adat batak mampu menampung banyak anggota keluarga? |
70%
|
| 3 |
Apakah rasa malu yang anda peroleh jika mendiami rumah adat batak tersebut? |
50%
|
| 4 |
Apakah pengaruh zaman yang telah membuat kurangnya perhatian masyarakat etrhadap rumah adat batak? |
100%
|
| 5 |
Apakah rumah adat batak tersebut merugikan bagi anda? |
100%
|
| 6 |
Apakah rumah adat batak tersebut bisa digunakan dalam acara adat? |
100%
|
| 7 |
Apakah anda setuju rumah adat batak dihancurkan? |
100%
|
| 8 |
Apakah jika rumah adat yang memadati permukiman warga akan membuat daerah kabupaten tapanuli utara ketinggalan zaman? |
10%
|
| 9 |
Setujukah anda apabila diadakan promosi guna menumbuhkan minat masyarakat dalam rumah adat batak? |
83%
|
| 10 |
Apakah masih layak istilah batak di daerah ini apabila unsur kebatakan di rumah batak mulai punah |
100%
|
Tabel II Hasil Lanjutan
No
|
Presentase yang didapat
|
Kriteria yang didapat
|
1
|
10-30%
|
Kurang berminat
|
2
|
40-60%
|
Berminat
|
3
|
70-100%
|
Sangat berminat
|
Berdasarkan kedua tabel tersebut, didapat bahwa
- Banyak angka 100% didapat dari hasil penyebaran angket kepada warga yang artinya sangat berminat,
- Persentase tentang banyaknya yang mendiami rumah
batak berdasarkan penyebaran angket yang terdapat dalam tabel I bahwa
mendapat angka 33% yang berarti kurang berminat.
- Berdasarkan pengamatan (observasi) didapat angka
10-30% yang berarti kurang berminat yang berada di lampiran karya ilmiah
ini dan secara sistematis didapat dari:
n
Q
s = − X 100%
∑ warga
30
Q
s = − X 100%
90
=33,3%
Keterangan:
Q s = Persentase rumah batak yang didiami warga
n = Jumlah warga yang mendiami rumah batak
∑ warga= Jumlah keseluruhan warga yang dijadikan sampel
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Kurangnya Pelestarian Rumah Adat Batak di Desa Hutagalung Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara ialah benar adanya.
Kurangnya Pelestarian Rumah Adat Batak di Desa Hutagalung
Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara dominannya disebabakan
oleh era globalisasi yang berkembang atau melecit yang membius perhatian
masyarakat dengan perkembangan interior maupun superior yang bervarian
ditawarkan.
Unsur kebatak-batakan juga berkurang, dalam ari kekentalan atau kekhasan istilah “Tano Batak” juga berkurang.
5.2 SARAN
Demi keluhuran istilah “Tano Batak” yang
telah tersebar luas di segala penjuru daerah perlu diadakannya promosi
tentang betapa asrinya daerah Tapanuli Utara apabila dominannya bangunan
yang berbau rumah adat batak.
Pemerintah perlu mengadakan suatu penyuluhan tersebut dengan
tonggak seperti kokohnya Gedung Sopo Partungkoan Tarutung dan Gedung
DPRD Kabupaten Tapanuli Utara sebagai contoh dari asrinya kebudayaan
pribumi di Indonesia yang kental unsur kebatak-batakannya.
Kita sebagai generasi muda penerus bangsa dan seluruh warga
negara Indonesia harus mengabadikan kebudayaan pribumi, dan ada satu
cara yang ampuh untuk melestarikan kebudayaan pribumi yaitu dengan
menyeleksi dan sikap kritis dalam menyikapi era globalisasi yang
melanda, guna kebudayaan pribumi yang kaya dan bercita rasa tinggi tidak
memudar bahkan punah serta unsur estetika kebudayaan pribumi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tukan, Paulus. 2007.
Mahir Berbahasa Indonesia SMA Kelas XII. Jakarta: Yudhistira
Mardiah, Syahidah. 2006.
Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Suyono, Adi. 2007.
Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Alwi, Hasan, dkk.(ed).
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Suyono, Adi. 2004
. Cerdas Berpikir Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia. Jakarta: Ganeca Exact
Murtono, Sri. 2002.
Bahasa Indonesia SLTP Kelas 3. Surakarta: PT Pabelan
Pratiwi, dkk.
Biologi SMA Kelas X. Jakarta: 2007
Finoza, Lamuddin.
Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Media
Nursisto, Abdi.
Penuntun Mengarang. Jakarta: Adicita
Effendi, Anwar. dkk. 1997.
Penagajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka
Hendy, Zaidan. 2006.
Indonesia Budaya Awal Kami. Jakarta: Gramedia